SERANG | TR.CO.ID
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten terus mengusut kasus dugaan korupsi dalam kontrak jasa pengangkutan dan pengelolaan sampah di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dengan nilai kontrak Rp75 miliar. Hingga saat ini, sebanyak 37 saksi telah diperiksa dalam penyidikan kasus tersebut.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Banten, Rangga Adekresna, mengatakan bahwa saksi yang diperiksa terdiri dari 21 Aparatur Sipil Negara (ASN) dan 16 pihak swasta. Namun, saat ditanya apakah Kepala DLH Tangsel telah diperiksa, ia enggan memberikan jawaban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami sudah melakukan penyidikan dengan memeriksa 37 orang saksi yang terdiri dari 21 ASN dan 16 orang dari pihak swasta,” ujar Rangga saat dikonfirmasi media, Selasa (4/3/2025).
Mengenai potensi kerugian negara, Kejati Banten masih melakukan penghitungan dengan menggandeng auditor eksternal dan internal. Selain itu, dampak lingkungan akibat kasus ini juga tengah dikaji oleh ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Terkait kerugian negaranya, tim menggunakan auditor eksternal dan internal. Nanti kita lihat perbandingan hasil penghitungan kerugian negara,” jelasnya.
Sebelumnya, Plh Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Banten, Aditya Rakatama, mengungkapkan bahwa kontrak jasa pengangkutan dan pengelolaan sampah ini dilakukan antara DLH Tangsel dan PT EPP, dengan pembagian anggaran Rp50 miliar untuk pengangkutan dan Rp25 miliar untuk pengelolaan sampah. Namun, penyidik menemukan indikasi persekongkolan sebelum kontrak berlangsung.
“Diduga terjadi persekongkolan antara kedua pihak sebelum kontrak berjalan. Karena ternyata PT EPP sebagai penyedia tidak memiliki kapasitas dan fasilitas yang memadai untuk mengelola sampah,” kata Aditya.
Ia juga menyebutkan bahwa penyidik memperkirakan kerugian negara dalam kasus ini mencapai sekitar Rp25 miliar.
Kasus ini pertama kali mencuat setelah adanya aksi demo warga di Jatiwaringin, Kabupaten Serang, menjelang Pilkada 2024. Warga memprotes adanya pembuangan sampah liar di lingkungan mereka. Setelah dilakukan penelusuran, diketahui bahwa sampah tersebut berasal dari Kota Tangsel.
“Sampah ini ada retribusi, tetapi nyatanya mereka membuangnya sembarangan. Artinya, sampah ini berubah status menjadi sampah liar,” jelas Aditya.
Meskipun penyidikan sudah berjalan cukup lama, Kejati Banten hingga kini belum menetapkan tersangka dalam kasus ini.
“Belum ada (penetapan tersangka), tetapi sebentar lagi,” pungkas Rangga.
Kejati Banten menegaskan bahwa mereka akan terus mendalami kasus ini dan menindak pihak-pihak yang terbukti terlibat dalam dugaan korupsi tersebut. (hrs/BN/ris/dam)