Desakan perubahan dan perkembangan teknologi sangat cepat dan kuat. Kita semua hampir tergagap dengan munculnya AI (artificial intelligence) yang mengubah banyak hal.
Melalui AI, hal-hal yang sebelumnya dikerjakan oleh manusia kini bisa dikerjakan oleh AI. Kemajuan teknologi yang dikembangkan oleh negara-negara maju seperti Amerika, China, India, Singapura, dan Jepang sudah sangat cepat dan sulit dikejar.
Pilihan kebijakan dan strategi dengan memajukan teknologi informasi untuk mengejar ketertinggalan, tentu tidak salah, namun dengan keseriusan dan ekosistem teknologi yang belum sebaik negara-negara tersebut akan sulit bagi bangsa Indonesia dalam mengejar ketertinggalan tersebut. Perlu ada strategi baru yang lebih mendasar dan berakar pada masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada yang lebih penting dari pembangunan kemampuan akademis, yakni pembenahan karakter manusianya. Bukankah, jika kita memperhatikan berita atau media sosial akan dijumpai cerita-cerita miris anak manusia Indonesia? Dari guru yang dipenjara karena aduan orang tua murid, hanya gara-gara anaknya (murid si guru) melakukan kesalahan dan lalu dihukum guru. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa lalu. Guru, menempati derajat sosial yang tinggi.
Harian Kompas pada tanggal 19 Januari 2023 memberitakan aksi balas dendam orang tua murid di Paguyaman, yang tidak terima anaknya mendapatkan hukuman ketertiban karena dianggap rambut panjang. Berita dengan judul “Balas Dendam Orangtua Murid saat Potong Rambut Guru, Berawal tak Terima Rambut Anaknya Digunting” menunjukkan bahwa profesi guru tidak lagi menempati posisi yang mulia.
Kasus terbaru, guru di SMAN 7 Rejang Lebong, Bengkulu diketapel oleh orangtua murid hanya karena tidak terima anaknya ditegur oleh guru tersebut saat kedapatan sedang merokok.
Kasus-kasus serupa sudah sangat banyak dan membuat miris. Belum lagi melihat polah dari siswa yang dengan terang-terangan berkata kotor terhadap sesama maupun orang lain dan berperilaku kurang elok yang tidak mencerminkan sebagai seorang siswa yang berpendidikan.
Pada masa lalu, tentu kenakalan terjadi tetapi tidak semasif sekarang dan tidak di depan umum. Pangkalnya, adalah budi pekerti sudah tidak lagi diajarkan dan menjadi konsen kita semua sekarang ini. Manusia Indonesia sekarang lebih mengejar status-status sosial yang berdasar pada materi, bukan keluhuran budi pekerti.
Siswa, dari berbagai tingkatan, adalah cerminan masa depan kita. Pada tangan mereka masa depan bangsa ini berada. Pada masa lalu, seorang siswa adalah orang yang tidak saja memiliki pengetahuan atau ilmu yang luas, melainkan juga budi pekerti yang baik.
Kurikulum Merdeka
Pemerintah memang sedang berupaya menerapkan kurikulum merdeka, yang tujuannya membentuk karakter siswa untuk inklusif, kreatif, toleran. Tentu program tersebut bertujuan mulia, tetapi layaknya kurikulum baru, biasanya disertai dengan sekolah pelopor, sosialisasi dan lain sebagainya yang butuh waktu.
Sudah lazim di pendidikan Indonesia mudahnya berganti kurikulum pengajaran sesuai dengan pemikiran para pejabatnya. Berganti menteri pendidikan, berganti pula kebijakan dan kurikulum yang telah ada, walau belum semua sekolah menerapkan.
Kita membutuhkan kurikulum yang ajeg, berlaku untuk jangka panjang, sekaligus fleksibel dalam merespon kehendak zaman. Kurikulum tersebut harus berdasarkan karakter dan watak bangsa Indonesia yang hidup dalam iklim tropis, komunal bukan individual. Kurikulum harus disusun bukan untuk mengejar target-target akademik, melainkan lebih pada pembentukan karakter, watak, dan etika-etika ketimuran.
Kurikulum tersebut adalah kurikulum yang mementingkan budi pekerti. Tentu, untuk mengembalikan budi pekerti sebagai karakter bangsa dimulai dari pendidikan.
Dari tingkatan terkecil, yakni rumah tangga sampai dengan sekolah, pendidikan budi pekerti harus mulai diterapkan. Untuk menunjang hal tersebut, perlu kebijakan yang lebih serius mengenai pendidikan budi pekerti.
Penghargaan terhadap orang yang lebih tua adalah tradisi bangsa Indonesia. Dari daerah manapun, anak-anak yang lebih muda akan menghargai orang yang lebih tua. Baik melalui cium tangan ketika salaman, menggunakan bahasa halus saat berkata, maupun tindakan-tindakan lainnya.
Namun apa yang terjadi, kita dan para siswa kita sudah “kehilangan” tindakan yang baik tersebut. Yang lebih tua tidak menyayangi yang lebih kecil dan yang lebih kecil tidak menghormati yang lebih tua. Justru, “ruh” dari relasi sosial mengenai budi pekerti tersebut “ditangkap” oleh masyarakat Jepang.
Pelajar-pelajar di Jepang, jika melewati orang tua akan membungkukkan badan sambil mengucap permisi (tentu dengan bahasa Jepang). Demikian juga orang dewasa yang bertemu siswa, akan dihargai dan dihormati.
Demikian juga pada sikap menghargai yang lain. Lihatlah di jalanan kota-kota besar, bagaimana kita berperilaku di jalanan. Dapat dikatakan tidak ada budi pekerti sama sekali. Hal tersebut dimulai dari sabar terhadap antrian. Karakter tersebut tentu bukan lahir dengan sendirinya, melainkan melalui pendidikan karakter yang terus menerus.
Tidak sabarnya dalam antrian beranjak dari kurangnya penghargaan dan toleran dengan yang lain. Padahal, jika berkaca pada kondisi alam yang memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi, dan juga perbedaan suku-bangsa yang beragam, kita terbiasa hidup berdampingan dengan yang berbeda. Baik berbeda karena faktor agama, suku, golongan, maupun partai politik.
Secara alamiah, kita sudah dididk oleh alam untuk berbeda dan hidup rukun, bahkan saling membantu untuk ekosistem kehidupan yang baik dan produktif untuk semuanya.
Budi Pekerti adalah Daya
Belum lama, saya ketemu kawan yang lama tinggal di Amerika. Ia menceritakan bahwa sekarang ini pekerja dari Indonesia sedang menjadi pilihan utama, untuk berbagai pekerjaan. Dari pembersih, asisten rumah tangga, peneliti, dosen, ilmuwan dan lain sebagainya. Orang-orang Indonesia menjadi pilihan utama karena dikenal ulet, sopan, pandai menempatkan diri, bisa cepat belajar dan adaptasi, serta multi-tasking.
Kata kunci dari itu semua adalah budi pekerti. Para pekerja asal Indonesia tersebut, sebagian besar adalah generasi yang saat sekolah dasar (SD) menerima pengajaran budi pekerti. Bahkan, untuk menanamkan pengertian “budi”, dalam pelajaran Bahasa Indonesia yang menjadi contoh kalimat adalah budi. “Ini Budi”, “ini Ibu Budi”, “ini Bapak Budi” dan semua kalimat yang menyebut nama Budi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “budi” memiliki lima arti. Pertama adalah alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Arti kedua adalah tabiat, akhlak, watar. Ketiga, perbuatan baik, kebaikan. Empat, daya upaya, ikhtiar. Lima, akal. Dari kata budi ini berkembang menjadi budaya, yakni hasil olah rasa dan karsa manusia.
Tegasnya, budi, budaya, atau juga budi pekerti adalah tindakan manusia yang berdasarkan watak dasarnya. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh orang karena sudah melekat dalam diri orang sebagai dampak dari pendidikan yang dilakukan sejak kecil serta terus menerus.
Budi pekerti tidak hanya “culture” melainkan “civilization” atau ke-adab-an tidak hanya tamaddun. Budi pekerti tidak hanya dapat menghasilkan karya-karya yang monumental melainkan juga ada perilaku yang baik, perilaku yang menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabak kemanusiaan.
Berkaca pada pengalaman para pekerja Indonesia, maka jelas budi pekerti bisa menjadi kekuatan kultural yang menggerakkan orang-orang Indonesia supaya bisa memiliki kemampuan lebih baik, kepercayaan, dan bisa meningkatkan kesejahteraan, yang kelak juga secara perlahan akan mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dalam berbagai hal.
Siapapun presidennya, saya berharap pembentukan karakter dan budi pekerti menjadi agenda utama dalam membangun bangsa. Ini (bukan pekerjaan) Ibu Budi, tetapi pekerjaan kita semua
Penulis : Fathi Royyani
Sumber Berita : CNBC Indonesia