Dalam beberapa bulan terakhir kata pesantren, kyai, ulama dan santri tepatnya nahdlatul ulama menjadi perbincangan dalam jagad media mainstream maupun media sosial yang erat dihubungkan dengan Tindakan atau laku politik yang sedang panas dalam kontestasi electoral. Berbagai klaim ditunjukan oleh masing-masing tim sukses tentang kandidat calon presidennya.
Nama-nama kandidat yang beredar dengan sederet aktivisme politiknya menjadikan santri, kyai dan pesantren sebagai issue paling nikmat dikemas untuk Raihan politik elektoralnya. dengan dalih NU sebagai ormas besar yang jumlah anggotanya kurang lebih 50 jutaan ini menjadikan NU sebagai kekuatan yang tak sebanding dengan elemen ormas islam lainnya. Maka kemunculan kandidat dengan membawa nama santri, kyai dan pesantren selalu menarik untuk dilibatkan dalam moment politik electoral seperti Pilpres.
Mencari Santri Ideal
Berkembangnya demokrasi di Indonesia secara otomatis akan berimplikasi pada semua sektor termasuk masyarakat pesantren. Pada konteks politik, identifikasi masyarakat pesantren itu adalah kyai dan santri, dua ini yang direbutkan banyak pihak untuk mendulang Raihan suara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara etimologis, memang tidak begitu jelas asal usul kemunculan dari kata “santri” itu sendiri. Ada yang mengaitkan istilah santri tersebut dengan kata melayu, santeri yang menurut Robson, istilah santeri tersebut diturunkan dari bahasa Jawa dan terkait dengan etimologi bahasa sanskerta (sastri) dan bahasa tamil (sattiri). Makna yang terkandung dari kedua bahasa itu adalah “terpelajar” (learned) atau juga bermakna “ulama” (scholar)
Santri dalam kebudayaan pesantren, juga memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu, santri memberikan penghormatan yang berlebihan kepada kiainya. Kebiasaan ini bisa menjadikan santri bersikap pasif karena khawatir kehilangan barokah, dan sikap khas santri ini yang membedakan santri dengan siswa-siswi di lembaga lainnya. Sikap hormat dan patuh kepada kyai yang ada di pesantren sejatinya bukanlah penyerahan secara total kepada kyai sebagai guru yang memiliki otoritas, melainkan adanya keyakinan bahwa guru sebagai penyalur berkah Tuhan kepada murid-muridnya. Sehingga, kedudukan kyai di pesantren akan sangat tinggi dan dihormati oleh para santri dan bahkan masyarakat sekitar pesantren.
Kebiasaan akan ta’zim (penghormatan) pada kyai merupakan laku santri yang tidak terelakan akan makna dalam nilai kehidupan budaya pesantren. Dalam logika politikpun demikian santri cenderung manut atas titah (arahan) kyai dalam pilihan politik. Karenanya perebutan kekuasaan pada pilpres kali inipun kyai dan santri menjadi rebutan. Menyadur tulisan Michael Maccoby berjudul Why People Follow The Leader: The Power of Transference menyiratkan restu atau dukungan para kiai dan santri akan bertransformasi menjadi dukungan elektoral terhadap calon tersebut. Maccoby menjelaskan hal itu terjadi karena budaya para santri di daerah memiliki sifat patuh terhadap para kiai dan ulama panutannya yang akan mempengaruhi alam bawah sadar mereka.
Berebut kualitas santri
Semakin dekat waktu pemilihan, semakin mengkerucut para kandidat kepada 3 nama yang besar kemungkinan berpasangan. Anies-muhaimin, ganjar pranowo dan Mahfud MD, Prabowo-Gibran. Dari ketiga nama ini yang bisa mengklaim sebagai santri dan merepesentasi golongan Nahdlatul Ulama ada 2 yaitu Muhaimin dan Mahfud.
Dua nama ini memiliki kualitas yang berbeda, muhaimin secara politik memiliki kekuatan jaringan pesantren. bagaimanapun PKB yang lahir dari Rahim NU menjadi modal politik untuk meraih dukungan dari kalangan santri. Mantan ketum PB PMII ini Pernah menjadi Menteri, anggota DPR dan saat ini sebagai ketum PKB wajar jika kemudian muhaimin mengklaim paling NU, de facto memang dirinya cicit dari pendiri NU dan pendiri pondok pesantren den anyar kh. Bisyri Syansuri.
Sedangkan Mahfud sebagai orang madura yang kental dengan budaya keislaman dan santri memiliki kekuatan pembeda. Mahfud yang besar dalam suasana akademik sebagai guru besar hukum UII, besar dalam pengkaderan HMI menjadikan dirinya sebagai presidium KAHMI. Selain itu sebagai professional, pernah menjadi mentri pertahanan sipil pertama di era gus dur, ketua MK dan saat ini sebagai menkopolhukham. ditambah locus madura sebagai basis NU di jawa timur sebagai complement yang tidak terelakkan melekat dalam pribadinya, teruji bahwa dirinya bersih merupakan jualan yang terus dilakukan, apalagi di beberapa momen dalil-dalil serta quote-quote islami yang keluar dari ceramahnya menjadi penanda melekatnya kualitas kesalehan dirinya. wajar jika klaim dirinya sebagai santri karena memang Mahfud lahir dari keluarga besar kyai.
Kedua orang ini memiliki takaran kualitas dan kapabilitas yang mumpuni baik sebagai politisi maupun sebagai professional. berbeda dengan wapres kh. Ma’ruf amin yang kita ketahui selama 5 tahun mendampingi pak Jokowi cukup sebagai pelengkap atas pemenuhan nafsu politik NU. Kesan asal ada santri, kyai dan NU yang disematkan dan melekat dalam dirinya tidak mengejawantahkan nilai lebih dalam kwalitas dan kapabilitas yang patut diuji. Alhasil 5 tahun dengan tenang KH. Ma’ruf amin sebagai wapres banyak pertanyaan tentang apa yang sudah dikerjakan oleh pak kyai.
Muhaimin dan Mahfud hanya cukup dilevel orang nomor dua dalam kontestasi pilpres kali ini, tapi keterpilihan keduanya bukan hanya sebatas mewakili santri dan NU yang hanya sebagai magnet electoral, tapi lebih kepada penguasaan individu atas konsepsi kepemimpinan, keindonesiaan dan kwalitas dalam bernegara.
Beberapa bulan Kedepan kita bisa menyaksikan 2 santri ini berikhtiar gagasan untuk meraih simpati suara bukan hanya merebut golongan pesantren dan kyai semata, tapi juga kelompok muslim lainnya yang butuh konsepsi berfikir kedepannya dalam menjabarkan visi-misi demi Indonesia yang lebih baik.
Ala kulli hal, santri, kyai dan pesantren adalah komoditas yang selalu direbutkan dalam kontestasi, tinggal kaum santri lainnya bisa menyimak dan mempelajari manakah dari kedua santri yang sedang berjihad ini menampilkan gagasan bernas untuk Indonesia.
Selamat hari santri semoga ikhtiar pak Mahfud dan gus imin dalam kontestasi ini merupakan jihad santri jayakan negeri.
Penulis : Memed Chumaedy (Dosen FISIP UMT)