Informasi mengenai terjadinya kelangkaan LPG subsidi di beberapa wilayah menegaskan penerapan kebijakan subsidi LPG langsung penting untuk segera dilakukan. Meskipun faktor penyebab kelangkaan disampaikan cukup beragam, hal yang tidak terbantahkan adalah bahwa kelangkaan tersebut merupakan indikasi dari suatu kondisi tertentu.
Faktor penyebab terjadinya kelangkaan LPG subsidi dapat beragam, mulai dari keterbatasan kapasitas produksi, masalah teknis distribusi, terjadi penyimpangan, sampai dengan kemampuan kapasitas fiskal.
Mencermati perkembangan yang ada, kemampuan kapasitas fiskal (APBN) berpotensi dapat menjadi ancaman utama terhadap terjadinya kelangkaan LPG subsidi. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir kebutuhan alokasi anggaran untuk subsidi LPG terus meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perkembangan Konsumsi LPG Subsidi
Sejak program konversi penggunaan minyak tanah ke LPG dilaksanakan, konsumsi LPG di dalam negeri tercatat terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data, realisasi peningkatan konsumsi LPG Indonesia selama periode 2006-2022 rata-rata mencapai kisaran 14,11 % per tahun. Peningkatan konsumsi LPG yang tercatat signifikan terjadi pada periode awal pelaksanaan program konversi penggunaan minyak tanah.
Pada tahun 2008, 2009, dan 2010, konsumsi LPG Indonesia tercatat meningkat masing-masing sebesar 57,07 %, 47,08 %, dan 38,81 %. Peningkatan tersebut sejalan dengan realisasi program konversi minyak tanah yang terus diperluas. Peningkatan konsumsi LPG tercatat mulai stabil di kisaran 3,43 % – 4,17 % sejak tahun 2019. Hal tersebut terkait dengan program konversi penggunaan minyak tanah yang telah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan dokumen cetak biru program pengalihan minyak tanah ke LPG, kesetaraan energi antara minyak tanah dan LPG disampaikan bahwa 1 liter minyak tanah setara dengan 0,57 Kg LPG. Jika mengacu pada data tersebut, maka untuk mengkonversi minyak tanah yang digunakan oleh rumah tangga yang pada tahun 2007 dilaporkan sebesar 10 juta kilo liter paling tidak memerlukan sekitar 5,7 juta ton LPG.
Jika peningkatan konsumsi LPG subsidi diasumsikan sama dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi energi untuk rumah tangga yang dalam sepuluh tahun terakhir sekitar 1,40 % per tahun, kebutuhan LPG subsidi pada tahun 2022 mencapai kisaran 7,12 juta ton.
Dalam realisasinya, konsumsi LPG subsidi pada tahun 2022 dilaporkan sebesar 7,79 juta ton atau terdapat selisih sekitar 580 ribu ton dengan hasil perhitungan tersebut. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena realisasi konsumsi LPG subsidi lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan konsumsi energi sektor rumah tangga atau karena LPG subsidi juga dinikmati oleh para pihak yang semestinya tidak berhak.
Terkait dengan realisasi konsumsi LPG subsidi yang terus meningkat, alokasi anggaran untuk subsidi LPG juga tercatat terus meningkat. Bahkan, porsi alokasi anggaran untuk subsidi LPG menjadi salah satu komponen utama dan terbesar dalam struktur subsidi energi untuk setiap tahunnya.
Data menunjukkan realisasi anggaran subsidi LPG terus meningkat setiap tahunnya. Selama periode 2008-2022, realisasi anggaran untuk subsidi LPG rata-rata meningkat sekitar 35,99 % untuk setiap tahunnya.
Realisasi anggaran subsidi energi tercatat meningkat dari sekitar Rp 3,89 triliun pada 2008 menjadi Rp 100,39 triliun pada 2022. Angka peningkatan realisasi subsidi LPG tercatat sangat fluktuatif. Sejauh ini, peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2009 dan 2021 masing-masing meningkat sebesar 103,08 % dan 106,07 %.
Meskipun pemerintah telah mengalokasikan anggaran subsidi LPG yang cukup besar, manfaat yang diterima masyarakat masih relatif terbatas. Harga eceran tertinggi (HET) yang menjadi basis untuk menghitung anggaran subsidi ditetapkan sebesar Rp 4.250 per Kg atau Rp 12.750 per tabung.
Sementara, realisasi harga eceran LPG 3 Kg rata-rata terpantau telah mencapai kisaran Rp 22.000 per tabung. Karena itu, nilai subsidi LPG yang tidak dinikmati oleh masyarakat penerima manfaat adalah sekitar Rp 9.250 per tabung atau Rp 3.083 per Kg.
Dengan alokasi volume LPG subsidi pada tahun anggaran 2023 yang ditetapkan sebesar 8 juta ton, maka alokasi anggaran subsidi LPG yang tidak dinikmati oleh masyarakat penerima manfaat dapat mencapai kisaran Rp 25 triliun.
Pada satu sisi pemerintah mengalokasikan dan menambah anggaran subsidi LPG, di sisi lain target untuk membantu daya beli belum dapat dicapai sepenuhnya karena dalam realisasinya masyarakat penerima manfaat masih harus membayar jauh di atas HET LPG subsidi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Distribusi Tertutup VS Subsidi Langsung
Salah satu upaya yang terpantau akan dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan subsidi LPG adalah melalui mekanisme distribusi tertutup. Wacana mengenai penerapan distribusi LPG dengan mekanisme tertutup pada dasarnya bukan ide yang baru.
Selama kurun 2009-2012 pemerintah melalui KESDM terpantau telah melakukan uji coba distribusi tertutup di beberapa kota. Pada 2016 pemerintah kemudian terpantau melakukan pilot project distribusi LPG 3 Kg tepat sasaran di Kota Tarakan.
Pada 2018 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) terpantau merencanakan uji coba penyaluran LPG 3 Kg tepat sasaran. Pada awal 2019 TNP2K melakukan uji coba penyaluran LPG 3 Kg tepat sasaran dengan biometric dan e-voucher. Kemudian pada akhir 2019 TNP2K terpantau merencanakan uji coba penyaluran LPG 3 Kg dengan mekanisme non tunai.
Berdasarkan pantauan, terdapat sejumlah kendala dalam mekanisme distribusi LPG 3 Kg tertutup atau tepat sasaran. Diantaranya: (1) proses transaksi di lapangan akan dipengaruhi oleh kualitas sinyal HP (internet), jika sinyal tidak bagus transaksi akan terganggu; (2) terdapat tantangan besar dalam perubahan perilaku masyarakat, salah satu contohnya jika menggunakan e-voucher mengharuskan masyarakat menghafal PIN; (3) sebagian besar penjual LPG belum siap melayani sesuai dengan SOP; (4) masih memerlukan peningkatan sosialisasi dan edukasi; dan (5) masih diperlukan peningkatan kualitas aplikasi untuk mendukung kelancaran pelaksanaan program secara nasional.
Kebijakan distribusi tertutup dapat dikatakan masih merupakan bagian dari subsidi produk, tetapi dengan mekanisme yang diperbaiki. Sejumlah negara maju umumnya memberikan subsidi kepada penerima manfaat atau mereka yang berhak menerima subsidi secara langsung, bukan melalui subsidi produk.
Konsep subsidi tersebut seringkali terintegrasi pada satu program seperti program jaminan sosial atau social security. Sementara untuk Indonesia, sebagian besar subsidi diberikan dalam bentuk subsidi harga produk.
Pada satu sisi, dibandingkan subsidi langsung, subsidi harga produk memang relatif lebih menguntungkan karena tidak memerlukan data detil mengenai siapa saja penerima manfaat dari subsidi tersebut. Pemerintah cukup menggunakan data pada level makro untuk kemudian digunakan sebagai basis di dalam menetapkan kuota dan nilai subsidi atas produk tertentu yang ditetapkan sebagai produk subsidi.
Akan tetapi, model kebijakan subsidi melalui harga produk meskipun telah melalui distribusi tertutup umumnya masih menghadapi sejumlah kendala. Dengan basis data yang tidak detil, alokasi subsidi juga berpotensi dinikmati oleh masyarakat yang semestinya bukan penerima manfaat. Dalam konsep ekonomi ketika terdapat satu produk dengan dua harga yang berbeda konsumen akan cenderung memilih harga yang lebih murah.
Mencermati kondisi yang ada tersebut, kiranya sudah saatnya pemerintah merubah kebijakan dan mekanisme pemberian subsidi dari subsidi terhadap harga produk menjadi subsidi terhadap penerima manfaat. Kebijakan subsidi terhadap harga produk berpotensi menimbulkan permasalahan yang umumnya hanya masalah waktu dan akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kapasitas fiskal mampu memberikan toleransi terhadap permasalahan yang ada tersebut.
Meskipun tidak mudah dan harus dilakukan dengan kerja keras oleh seluruh stakeholder, perubahan kebijakan dan mekanisme pemberian subsidi dapat dikatakan sebagai keniscayaan. Pilihan mekanisme distribusi tertutup jika masih menggunakan kebijakan subsidi terhadap harga produk masih akan menyisakan sejumlah masalah.
Karena itu, pilihan terhadap mekanisme subsidi langsung pada dasarnya merupakan keharusan. Jika tidak, kita semua hanya akan berputar-putar, sulit menemukan solusi, dan terperangkap pada permasalahan yang sama dari waktu ke waktu.
Penulis : Komaidi Notonegoro
Sumber Berita : CNBC Indonesia